SULUK DAN THARIQAT
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah S.W.T yang telah memberikan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas ini dengan baik. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada nabi Muhammad S.A.W yang telah membawa kita kedalam ukhuwah islamiyah.
Tak lupa kami haturkan terimakasih kepada orang tua, teman- teman, khususnya kepada Bapak. Drs. H. Mufti Labib yang telah memberi support guna menyelesaikan tugas ini dengan baik, dan juga kepada staff perpustakaan serta quadrant-net terimakasih atas fasilitasnya.
Tiada gading yang tak retak, oleh karena itu kami mengharap kritikan yang konstruktif dari pembaca supaya dapat memberikan yang lebih baik.
Sidoarjo 7 Desember 2008
Tim Penulis
I
PENDAHULUAN
Adalah sebuah fenomena yang nyata, konon bagi sekelompok orang yang telah mengaku sebagai kaum mutashawifin masih banyak mengidap “ penyakit hati”, yaitu: mengaku sebagai seorang shufi tapi tidak CC(Commitment & Consistent) dengan dinul islam. Artinya pengakuan ke-shufi-anya tidak ditindak lanjuti dengan pola pendamping neraca syari’at dan neraca kepribadian.
Sejarah telah mencatat , bahwa ruh thariqah ada semenjak zaman Rasullullah saw. Yang kemudian terus berjalan dan berkembang di zaman sahabat nabi. Dimana praktek thariqah, pada saat itu masih bersifat personal, dan dijadikan sebagai fasilitas untuk mencapai derajat ihsan. Kemudian , praktek-praktek tazkaih & dzikir itu melembaga menjadi kelompok social keberagaman terlebih lagi setelah terbunuhnya cucu baginda rasullullah Sayyidina Husain bin Ali as syahid.Maka, mulailah munculah berbagai istilah yang ditujukan kepada palaku tazkiah&dzikrullah. Dan inilah embrio dari kelahiran cabang ilmu tashawwuf yang kemudian berkembang menjadi praktek-praktek tashawwuf.
Rumusan Masalah
1. Apa definisi Thariqat itu?
2. Ada berapa macam-macam Suluk itu?
3. Apa yang dimaksud dengan Khalwat itu?
4. Apa definisi Kasyaf itu?
Tujuan
- Mengetahui dengan jelas akan definisi dari thariqat
- Mengetahui definisi serta macam-macam didalam suluk
- Mengetahui dengan jelas akan definisi Khalwat
- Mengetahui dengan jelas akan definisi Kasyaf
II
PEMBAHASAN
A. THARIQAT
Tarekat berasal dari bahasa Arab thariqah, jamaknya tharaiq, yang berarti: (1) jalan atau petunjuk jalan atau cara, (2) Metode, system (al-uslub), (3) mazhab,aliran, haluan (al-mazhab), (4) keadaan (al-halah),(5) tiang tempat berteduh, tongkat, payung (‘amudal-mizalah).[1]
Sedangkan, secara terminology (istilah) tarekat adalah jalan yang lurus yang ditempuh untuk mencapai ridla-Nya dengan pengamalan syari’at yang benar dan pengamalan hakikat yang benar pula, sehingga mampu melakukan ma’rifatullah[2] dengan pengamalan dinul islam yang benar, sebagai bukti cinta(mahabbah) kepada Allah SWT dan mengikuti (mutaba’ah) sunnah rasulullah saw.[3]
1. Macam-Macam Thariqat
Secara garis besar Tarekat dibagi menjadi tiga macam, yaitu :
1.Tarekat Syathariyah
Tarekat Syathariyah pertama kali digagas oleh Abdullah Syathar (w.1429 M).
Tarekat Syaththariyah berkembang luas ke Tanah Suci (Mekah dan Medinah) dibawa oleh Syekh Ahmad Al-Qusyasi (w.1661/1082) dan Syekh Ibrahim al-Kurani (w.1689/1101). Dan dua ulama ini diteruskan oleh Syekh 'Abd al-Rauf al-Sinkili ke nusantara, kemudian dikembangkan oleh muridnya Syekh Burhanal-Din ke Minangkabau.
Adapun ajaran tarekat Syaththariyah, yakni :
Pertama, Ketuhanan dan hubungannya dengan alam. Paham ketuhanan dalam
hubungannya dengan alam ini seolah-olah hampir sama dengan paham Wahdat a1-
Wujud, dengan pengertian bahwa Tuhan dan alam adalah satu kesatuan atau Tuhan itu immanen dengan alam.
Kedua, Insan Kamil atau manusia ideal. Insan kamil lebih mengacu kepada hakikat manusia dan hubungannya dengan penciptanya (Tuhannya). Manusia adalah penampakan cinta Tuhan yang azali kepada esensi-Nya, yang sebenarnya manusia adalah esensi dari
esensi-Nya yang tak mungkin disifatkan itu. Oleh karenanya, Adam diciptakan Tuhan dalam bentuk rupa-Nya, mencerminkan segala sifat dan nama-nama-Nya,
Hubungan wujud Tuhan dengan insan kamil bagaikan cermin dengan bayangannya. Pembahasan tentang Insan KamiI ini meliputi tiga masalah pokok:
1.Masalah Hati.
2. Kejadian manusia yang dikenaldengan a’yan kharijiyyah dan a’yan tsabitah.
3. Akhlak, Takhalli, tahalli dan Tajalli.
Ketiga, jalan kepada Tuhan (Tarekat). Dalam hal ini Tarekat Syaththariyah menekankan pada rekonsiliasi syari'at dan tasawuf, yaitu memadukan tauhid dan zikir. Tauhid itu memiliki empat martabat,yaitu tauhid uluhiyah, tauhid sifat, tauhid zat dantauhid af'al. Segala martabat itu terhimpun dalamkalimah 1a ilaha ilIa Allah. Oleh karena itu kita
hendaklah memesrakan diri dengan La ilaha illa Allah.Begitu juga halnya dengan zikir yang tentunyadiperlukan sebagai jalan untuk menemukan pencerahanintuitif (kasyf) guna bertemu dengan Tuhan. Zikir itu dimaksudkan untuk mendapatkan al-mawat al-ikhtiyari
(kematian sukarela) atau disebut juga al-mawatal-ma'nawi (kematian ideasional) yang merupakan lawandari al mawat al-tabi’i (kematian alamiah). Namun tentunya perlu diberikan catatan bahwa ma’rifat yang diperoleh seseorang tidaklah boleh menafikan jalan syari’at.[4]
2. Tarekat Naqsyabandiyah
Pendiri Tarekat Naksyabandiyah ialah Muhammad bin Bahaâuddin Al-Huwaisi Al Bukhari (717-791 H). Ulama sufi yang lahir di desa Hinduwan ia “ kemudian terkenal dengan Arifan, beberapa kilometer dari Bukhara. Pendiri Tarekat Naksyabandiyah ini juga dikenal dengan nama Naksyabandi yang berarti lukisan, karena ia ahli dalam memberikangambarankehidupanyangghaib-ghaib.
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu:
Ada enam dasar yang dipakai sebagai pegangan untuk mencapai tujuan dalam Tarekat ini, yaitu:
- Tobat
- Uzla (Mengasingkan diri dari masyarakat ramai yang dianggapnya telah mengingkari ajaran-ajaran Allah dan beragam kemaksiatan, sebab ia tidak mampu memperbaikinya)
- Zuhud (Memanfaatkan dunia untuk keperluan hidup seperlunya saja)
- Taqwa
- Qanaah (Menerima dengan senang hati segala sesuatu yang dianugerahkan olehAllahSWT
- Taslim (Kepatuhan batiniah akan keyakinan qalbu hanya pada Allah)
# Ajaran dasar Tarekat Naqsyabandiyah pada umumnya mengacu kepada empat aspek pokok yaitu: syari'at, thariqat, hakikat dan ma'rifat. Ajaran Tarekat Naqsyabandiyah ini pada prinsipnya adalah cara-cara atau jalan yang harus dilakukan oleh seseorang yang ingin merasakan nikmatnya dekat dengan Allah. Ajaran
yang nampak kepermukaan dan memiliki tata aturan adalah suluk atau khalwat.
3. TarekatQadiriyah
Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain, Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu. [5]
Pendiri Tarekat Qadiriyah adalah Syeikh Abduk Qadir Jailani, seorang ulama yang zahid, pengikut mazhab Hambali. Ia mempunyai sebuah sekolah untuk melakukan suluk dan latihan-latihan kesufian di Baghdad. Pengembangan dan penyebaran Tarekat ini didukung oleh anak-anaknya antara lain Ibrahim dan Abdul Salam. Sebagaimana Tarekat yang lain, Qadiriyah juga memiliki dan mengamalkan zikir dan wirid tertentu. [5]
2. Tujuan Thariqat
Pada dasarnya thariqat memiliki tiga tujuan yakni:
- Tujuan pertama adalah menjadi al-muthahharuun, suatu tingkat kesucian bayi.
Pada tingkatan ini, barulah seseorang salik (pejalan thariqat) dapat ‘menyentuh’ dimensi batin Al-Quran yang bahkan berdimensi hingga tujuh lapis. Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat pertama.
- Tujuan kedua adalah bertemu diri, atau ma‘rifat.
Pada tingkatan inilah seseorang baru dapat mengenal diri otentiknya dan mengetahui misi hidupnya di muka bumi. Pada tingkatan inilah seseorang digelari sebagai syuhada (bisa juga dengan cara mati syahid). Dan di tingkatan inilah seseorang baru dikatakan mengerti hakikat syahadat (bagaimana bisa tingkatan seperti ini bisa dicapai hanya dalam satu kali training?). Pada tingkatan inilah Ruh Al-Quds berbicara di balik jiwa, seperti melihat matahari di balik film yang memfilter cahayanya yang dapat membutakan mata. Ruh Al-Quds mengingatkan kembali jiwa dengan perjanjian terhadap Tuhan (QS Al-A’raaf [7]: 172) dan penetapan qadha dan qadarnya.16 Tingkatan ini disebut juga sebagai rahmat kedua. Tugas seorang mursyid hanya sampai di tingkatan ini, karena untuk berikutnya yang akan menjadi mursyid adalah Ruh Al-Quds, yang akan menjadi penasehat dan pembimbing dalam menjalankan misi hidupnya.
- Tujuan ketiga adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarrib).
Fungsi mursyid adalah membimbing saliknya hingga sampai pada tujuan kedua dari thariqah, yaitu menjadi syuhada. Setelah itu, yang akan berperan sebagai mursyid adalah Ruhul Quds-nya sendiri untuk ber-dharma sebagai shiddiqiin.[6]
B. SULUK
Suluk berarti perjalanan ruhani seorang hamba dengan tujuan untuk mendekatkan diri, memohon ampunan, dan berkehenda mendapat ridho Allah SWT . dengan melalui tahapan-tahapan penyucian jiwa (tazkaiatun – nafsi)[7]yang dipraktekan ke dalam latihan-latihan ruhani( riadlatur-ruhaniah)[8] secara istiqamah dan mudawamah.[9]
Seseorang yang melaksanakan suluk dinamakan salik. Orang suluk beriktikaf di masjid atau surau, sebagaimana yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW atau Salafus Shaleh. Masa suluk itu dilaksanakan 10 hari, 20 hari atau 40 hari. Orang yang melaksanakan suluk itu wajib di bawah pimpinan seorang yang telah ma’rifat, dalam hal ini adalah Syekh Mursyid.
Setiap orang yang suluk meyakini, bahwa dirinya akan menjadi bersih dan tobatnya akan diterima oleh Allah SWT, sehingga dia menjadi taqarrub, dekat diri kepada-Nya. Syekh Amin Al Kurdi mengatakan, tidak mungkin seseorang itu sampai kepada makrifatullah dan hatinya bersih serta bercahaya, sehingga dapat musyahadah kepada yang mahbub, yang dicintai yaitu Allah SWT, kecuali dengan jalan suluk atau berkhalwat. Dengan cara inilah seseorang salik yang menghambakan dirinya kepada Allah SWT semata-mata, bisa sampai kepada yang dimaksud (Amin Al Kurdi 1994 : 430).[10]
1. Syarat-Syarat Suluk
Syekh Amin Al Kurdi dalam bukunya “Tanwirul Qulub” mengatakan ada 20 syarat suluk:
1). Berniat ikhlas, tidak riya dan sum’ah lahir dan batin.
2). Mohon ijin dan do’a dari syekh mursyidnya, dan seorang salik tidak memasuki rumah suluk sebelum ada ijin dari syekh selama dia dalam pengawasan dan pendidikan.
3). ‘Uzlah (mengasingkan diri), membiasakan jaga malam, lapar dan berzikir sebelum suluk.
4). Melangkah dengan kaki kanan pada waktu masuk rumah suluk. Waktu masuk seorang salik mohon perlindungan kepada Allah dari godaan syetan dan membaca basmalah, setelah itu dia membaca surat An Nas tiga kali, kemudian melangkah kaki kiri dengan berdo’a,
Artinya : Ya Allah, yang menjadi pelindung di dunia dan akhirat, jadikanlah aku sebagaimana Engkau telah menjadikan penghulu kami Muhammad SAW dan berilah aku kurnia, rizki mencintai-Mu. Berilah aku kurnia, rizki mencintai kekasih-Mu. Ya Allah, sibukkanlah aku dengan kecantikan-Mu dan jadikanlah aku termasuk hamba-Mu yang ikhlas. Ya Allah hapuskanlah diriku dengan tarikan zat-Mu, wahai Yang Maha Peramah yang tidak ada orang peramah bagi-Nya. Ya Tuhan, janganlah Engkau biarkan aku tinggal sendirian, sedangkan Engkau adalah sebaik-baik orang yang mewarisi.
Setelah itu dia masuk ke Musholla lalu mengucapkan,
Artinya : Sesungguhnya aku menghadapkan wajahku kepada yang menciptakan langit dan bumi dalam keadaan hanif/lurus dan aku bukanlah termasuk orang-orang musyrik.
Kalimat itu dibaca 21 kali. Setelah itu baru melaksanakan shalat sunat 2 rakaat. Setelah membaca Al Fatihah di rakaat pertama, dibaca ayat kursi (Al Baqarah 2 : 255) dan di rakaat kedua setelah membaca Al Fatihah, dibaca Amanar Rasul (AlBaqarah 2 : 285). Dan setelah salam membaca Ya Fatah ( ) 500 kali.
Artinya : Seseorang itu memohon kepada Allah agar dibukakan makrifat-Nya.
5). Berkekalan wudlu atau senantiasa berwudlu.
6). Jangan berangan-angan untuk memperoleh keramat.
7). Jangan menyandarkan punggungnya ke dinding.
8). Senantiasa menghadirkan musyid.
9). Berpuasa.
10). Diam, tidak berkata-kata kecuali berzikir atau terpaksa mengatakan sesuatu yang ada kaitannya dengan masalah syariat. Berkata-kata yang tidak perlu akan menyia-nyiakan nilai khalwat dan akan melenyapkan cahaya hati.
11). Tetap waspada terhadap musuh yang empat, yaitu syetan, dunia, hawa nafsu dan syahwat.
12). Hendaklah jauh dari gangguan suara-suara yang membisingkan.
13). Tetap menjaga shalat jum’at dan shalat berjama’ah karena sesungguhnya tujuan pokok dari khalwat adalah mengikuti Nabi SAW.
14). Jika terpaksa keluar haruslah menutupi kepala sampai dengan leher dengan memandang ke tanah.
15). Jangan tidur, kecuali sudah sangat mengantuk dan harus berwudlu. Jangan karena hendak istirahat badan, bahkan jika sanggup, jangan meletakkan rusuk ke lantai/berbaring dan tidurlah dalam keadaan duduk.
16). Menjaga pertengahan antara lapar dan kenyang.
17). Jangan membukakan pintu kepada orang yang meminta berkat kepadanya, kalau meminta berkat hanya kepada Syekh-Syekh Mursyid.
18). Semua nikmat yang diperolehnya harus dianggapnya berasal dari Syekh-Syekh Mursyid, sedangkan Syekh-Syekh Mursyid memperolehnya dari Nabi Muhammad SAW.
19). Meniadakan getaran dan lintasan dalam hati, baik yang buruk maupun yang baik, karena lintasan-lintasan itu akan membuyarkan konsentrasi munajat kepada Allah SWT sebagai hasil dari zikir.
20). Senantiasa berzikir dengan kaifiat yang telah ditetapkan oleh syekh Syekh Mursyid baginya, hingga sampai dengan dia diperkenankan atau dinyatakan selesai dan boleh keluar (Amin Al Kurdi 1994 : 430-431).
Pelaksanaan suluk pimpinan Prof. Dr. H. Saidi Syekh Kadirun Yahya disamping memenuhi syarat suluk tersebut, adalagi ketentuan adab suluk yang pada prinsipnya sama dengan syarat suluk yang 20 tadi. Ada 21 adab suluk yang inti pokoknya mengatur ketentuan-ketentuan orang yang suluk itu supaya mendapatkan hasil maksimal dalam suluknya. Ada lagi 9 (sembilan) adab setelah keluar dari suluk, yang harus diperhatikan dan dipedomani agar hasil Ubudiyah suluk itu dapat dipertahankan dan bahkan dapat lebih ditingkatkan lagi.[11]
2. Macam-Macam Suluk
Adapun beberapa macam suluk yang diciptakan oleh ahli tarekat guna memperbaiki keaslahan-kesalahan seorang salik, yaitu:
- Jalan ibadah: jalan yang ditempuh oleh seorang salik untuk memperbaiki syari’at yang merupakan kehidupan orang Islam sehari-hari yang bertujuan untuk menjalankan ibadah-ibadah menjadi lebih sempurna.
- Jalan riadhah: jalan yang ditempuh seorang salik untuk memperbaiki akhlaknya, dengan mengerjakan segala kekurangan-kekurangan tingkah lakunya yakni dengan menahan syahwat, latihan diri dengan bertapa, mengurangi makan & minum, tidur, mengurangi berkata-kata / adu domba.
- Thariqul khidmah WA bazlul jah: sebuah pendidikan yang diberikan oleh seorang mursyid agar para muridnya atau salik untuk berbuat khidmat dan kebajikan terhadap manusia. Dengan menyembunyikan kemegahan-kemegahan keturunan atau kedudukannya. Sehingga terjadi hubungan yang akrab antara seorang salik dengan masyrakat dalam pergaulan.
- Thariqul mujahidat WA ruku bil ahwal: Sebuah pengajaran yang diberikan mursyid kepada salik untuk melatih mereka agar tidak menjadi pengecut dalam peperangan melainkan menjadi pahlawan-pahlawan yang pemberani untuk mempertahankan kedaulatan nusa dan bangsa, melenyapkan kedzaliman. Yang harus ditakuti umat manusia hanyalah Allah SWT dan ulil amrinya.
3. Tujuan Suluk
Adapun beberapa tujuan mempelajari suluk bagi seorang salik, yaitu:
- Memperkuat keyakinan terhadap tuhan
- Menghilangkan segala sifat-sifat yang buruk pada seseorang
- Menanamkan sifat-sifat yang baik, sehingga ia menjadi manusia yang sempurna
- memperbaiki akhlaq
- menumbuhkan sifat-sifat yang terpuji atau mahmudah
C. KHALWAT
Khalwat menurut bahasa ialah menyendiri, mengasingkan diri, dan memencilkan diri. Sedangkan menurut istilah ialah, menyendiri pada suatu tempat tertentu, jauh dari keramanian dan orang banyak, selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat dan amaliah tertentu lainnya.[12] Khalwat juga bisa berarti mengosongkan kalbu dari berbagai pemikiran selain Allah.
Kalangan sufi diantara Al-Ghazali, berpendapat bahwa berkhalwat itu meneladani nabi Muhammad SAW yang pernah melakukan khalwat di gua Hira sebelum menerima wahyu pertama dan di Jabal Saur sesudah menjadi rasul. Khalwat nabi SAW di gua Hira adalah tafakur tantang segala makhluk ciptaan Allah SWT. Sedangkan khalwat Rasulullah SAW setelah menjadi rasul adalah memohon kepada Allah SWT agar wahyu kembali turun setelah terputus beberapa waktu karena nabi berjanji menjawab pertanyaan seorang musyrik mengenai hakikat roh tanpa mengatakan “Insya Allah”.
Dalam ‘Awarif Al-Ma’arif (ahli ilmu pengetahuan) kaum Sufi, ia menasehatkan untuk berkhalawat selama 40 hari setiap tahun dan menjalaninya dengan shalat dan puasa.[13] Filosofi (hikmah) dalam menetapkan lama waktu khalawat selama empat puluh hari adalah sebagai berikut. Pada setiap pagi (dalam khalwat), sebuah hijab mestilah tersingkap dan lahirlah kedekatan (kepada Allah) agar-dalam waktu empat puluh hari-empat puluh buah hijab terangkat, memperhalus watak manusia, kembali dari kejauhan menuju ke negeri kedekatan kepada Allah (gabungan dari keindahan dan keagungan; esensi “ilm dan ma’rifah); dan untuknya mestilah disahihkan dan dilukiskan visi tentang keagungan dan keazalian; pandangan niatnya haruslah di jaga dari semua kotoran dunia agar sumber hikmah memancar dari hati dan lisannya.
Tanda khalwat adalah dipertahankannya kondisi tersingkapnya hikmah itu. Penyingkapan hikmah bisa dijumpai dengan bukti tersingkapnya hijab dan berbagai manifestasi yang tak diragukan lagi.
Namun dalam pandangan kaum Sufi, khalwat tidak hanya sebatas empat puluh hari saja. Berpisah dari menusia dan menyibukkan diri dengan Allah sangat mereka inginkan, dan ini berlangsung selama hayat dikandung badan. Keuntungan melakukan khlwat selama empat puluh hari adalah bahwa ketika kurun waktu itu sudah rampung dilalui, manifestasinya mulai tampak dan kelihatan.
Seorang murid tarekat yang berkhalwat hendaklah melepaskan diri untuk sementara dari alam sekitar, seluruh harta miliknya, dan keluarga serta tidak meninggalkan khalwatnya kecuali untuk shalat jama’ah atau shalat jum’at. Dalam keadaan seperti ini ia harus terus menerus mengingat Allah SWT dan tidak memperhatikan apa yang di dengar dan dilihatnya agar dirinya tidak terganggu. Selama itu pula ia harus tetap ber-suci dengan wudlu, tidak tidur kecuali bila amat-amat letih dan tidak putus-putusnya berzikir.
Khalwat diibaratkan sebagai peleburan besar yang dengan nyala api kezuhudan nafsu dilebur. Dimurnikan dari segala kotoran, indah bercahaya seperti laksana sebuah cermin. Dengan cermin ini, tampaklah segala sesuatu yang tersembunyi. Khalwat adalah juga himpunan dari segala sesuatu yang saling bertentangan di dalam nafsu (nafs) berbagai latihan rohani, misal sedikit makan, sedikit berbicara, menghindari berkumpul-kumpul dengan manusia, selalu berzikir, menolak berbagai macam pikiran, dan senantiasa melakukan kontemplasi yang disertai ras takut (muraqabah). Latihan-latihan rohani (riyadhat) berarti meninggalkan keinginan hawa nafsu dan berbagai syarat dalam berusaha.
Barang siapa berniat melakukan khalwat, maka ia harus membersihkan niatnya dari polusi keinginan akan segala sesuatu yang bersifat duniawi dan berdoa untuk (kesejahteraan dan kebahagiaan) akhirat, pahala atas amalan-amalan sesuai dengan niat. Semakin lebih baik niat seorang dari amalnya, maka semakin penuh pahala yang diperolehnya. Niatnya haruslah semata-mata dimaksudkan untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dengan banyak beribadah dan menjauhi keinginan untuk memperoleh kedudukan lebih tinggi, kemunafikan, keajaiban, dan memperoleh kekuatan dari Al-Qur’an.
§ Dalam khalwat, sesudah menyucikan niat, bertobat, dan senantiasa beribadah kepada Allah, ia harus memenuhi tujuh syarat: [14]
1. Selalu dalam keadaan berwudlu, jika ia menemukan suatu kelemahan dalam dirinya, maka ia harus berwudlu lagi agar cahaya kesucian lahiriyahnya bertambah terang dalam dirinya dan membantu mencerahkan hati.
2. Selalu berpuasa, ia selalu berpuasa sunnah, agar segenap waktunya dipenuhi dengan keberkahan.
3. Sedikit makan, sewaktu sarapan, jumlah makanan tidak boleh lebih dari satu rithl (yakni sama dengan satu pound atau 0,454 kilogram-peny). Lebih baik baginya jika ia hanya maka roti dan garam. Jika ia memulai dengan satu rithl, maka ia harus menguranginya menjadi setengah rithl pada sepuluh hari terakhir (dari periode empat puluh hari). Jika ia kuat memulai dengan setengah rithl, maka ia harus menguranginya menjadi seperempat rithl.
4. Sedikit tidur, ia harus menahan kantuk selagi masih mampu dilakukannya. Tidur yang sesuai dengan kebutuhan di hitung sebagai ibadah bila diperlukan untuk menghilangkan kelelahan perasaan dan nafs (yang menyebabkan kelelahan jiwa dalam beribadah dan melemahkan kesenangan dalam beribadah). Dengan tidur, kesucian perasaan dan kelegaan batin (yang menyebabkan wajd dalam jiwa) akan kembali kepadanya. Kemudian segenap waktunya digunakan sepenuhnya dalam beribadah.
5. Sedikit bicara, ia harus menjaga indahnya setiap kali berbicara dengan orang lain.
6. Menafikkan berbagai pikiran. Dengan zikir dan dengan menyibukkan hati dalam menolak berbagai macam pemikiran.
7. Terus menerus beramal, secara lahiriyah maupun bathiniyah, ia mestilah menghiasi dirinya dengan jubah ibadah, ia selalu beramal di waktu dan saat yang terbaik dan diutamakan, jadi, “seorang dalam peringkat awal” mestilah membatasi dirinya pada perintah-perintah ilahi dan shalat-shalat sunnah, dan di lain waktu pada zikir.Amaliah dan zikir tersebut dipandang oleh penganut tarekat sebagai wasilah atau saran perantara. Adapun tujuannya adalah menetapkan secara berkesinambungan perhambaan lahir dan batin kepada Allah SWT serta menghadirkan hati secara terus-menerus untuk mengingat Allah SWT.
Dalam hal ini, amalan terbaik adalah ketekunan dan keteguhan hati. Karenanya, jika timbul kebencian dalam nafs, maka amalan terbaik adalah, maka amalan terbaik adalah mengaiti shalat dengan bacaan Al-Qur’an; sebab, membaca Al-Qur’an lebih mudah dilakukan ketimbang mengerjakan shalat. Jika membaca Al-Qur’an menyebabkan lelah, maka amalan terbaik adalah berzikir. Jika lidah sudah lelah melakukan zikir, maka amalan terbaik adalah zikir dalam hati. Yang mereka sebut dengan moraqabah (kontemplasi disertai rasa takut), yakni memperhatikan berbagai manifestasi (tajalli) Allah-berkenaan dengan keadaan dirinya sendiri. Jika ia merasa lelah atau lesu dalam melakukan muraqabah, maka ia boleh melakukan istirahat dan tidur barang sejenak.
Begitulah, setelah nafs sudah tidak lelah, ia bisa melakukan berbagai amalan lagi dengan senang hati. Sangatlah tidak tepat jika ia memaksa nafs bekerja. Ahli khalwat mestilah menghabiskan waktunya untuk menyimak bacaan, bacaan ini agar berbagai peristiwa gaib bisa diungkapkan.
D.KASYAF
Kasyaf menurut bahasa artinya terbuka atau tidak tertutup. Sedangkan menurut istilah, kasyf adalah kehidupan emosi keagamaan. Bisa juga kasyf diartikan dengan satu istilah bagi terefleksinya sebagian kondisi universe dan kerajaan Allah. Pada cermin kalbu setelah bersih dari kotoran-kotoran dosa dan kerusakan nafsu syahwat. Kasyf merupakan istilah paling luas bagi terbukanya hijab (tabir) rahasia mistik.
Tingkatan kemanusiaan ini secara umum dapat dikelompokkan kedalam tiga tingkatan.[15] (1) mujahadah. Pada tingkatan ini akal manusia dikendalikan oleh bukti objektif kebendaan (burham). Oleh karena itu tingkatan ini dapat mencapai ‘lm al-yaqin yang masih dalam ruang lingkup pemikiran rasional. (2) Mukasyafah. Pada tingkatan ini manusia mampu menerima pengetahuan berdasarkan eksplansi (pencarian penjelasan, bayan). Orang yang mencapai taraf ini akan dapat mencapai ‘ain al-yaqin, yakni pandangan kebenaran objektif yang mengacu pada kebenaran yang mungkin. (3) Musyahadah. Tingkatan ini adalah pengalaman pribadi manusia (Makrifat) yang langsung bisa menyaksikan sesuatu hal. Pengalaman pribadi ini merujuk pada pengalaman mistik berkat kedekatannya kepada Tuhan, sehingga dapat terbuka baginya, pengetahuan haqq al-yaqin. Yang terahir ini adalah bayangan langsung tuhan dan acapkali di sebut dengan al-mu’aiyana.
Untuk mencapai kebahagiaan sejati dalam kasyf, terlebih dahulu komponen-kompenen rohani manusia harus mampu menyimpan hal yang ihwal yang diperlukan untuk mencapai kebahagiaan sejati itu. Jika keseluruhan komponen rohani itu telah mampu menyimpan Islam, Iman, Makrifat, dan Tauhid, maka manusia baru akan sampai pada tingkatan kasyf, sehingga terbuka hijab yang menyelubungi rahasia hati nurani dan rahasia Ilahi, komponen-komponen rohani yang dimaksud adalah: sadr atau dada, yakni islam (QS, 39:22) qalb (kalbu) atau hati, merupakan tem[pat bersemayamnya iman. (QS. 49:7, QS.16:106); fu’ad atau hati. Yakni makrifat (QS.53:11) dan lubb (jamaknya albab) atau lubuk hati yang paling dalam merupakan tempat bersemayamya tauhid. (QS. 3:190). Para Sufi seringkali menambah unsur sir, yakni getaran jiwa yang paling dalam tempat petunjuk ilahi itu dialami. Apabila seluruh unsur rohaniyah itu tersebut bekerja, dan mampu menampung ihwal-ihwal di atas, maka akan terciptalah kasf. Yang diharapkan.
Ja’far As-Sadiq mengatakan bahwa ‘aql (pemikiran rasional) merupakan rintangan antara nafsu dan kalbu. Kedua komponen ini merupakan batas yang tidak bisa di lampaui (QS.55:20) agar gelapnya insting-insting yang lebih rendah tidak mengancam kesucian hati manusia. Masing-masing pisah rohaniah tadi mempunyai fungsinya sendiri-sendiri yang mesti saling melengkapi menuju kesucian jiwa dani kesucian rohani untuk sampai terbuka hijab rahasia yang menyelubungi rahasia hati nurani manusia dan rahiasia Ilahi.
Menurut Al-Ghazali, “kasyf (penyingkapan tabir) akan menjadi benar-benar sempurna jika tumbuh berkembang dari sikap istiqamah, karena penyingkapan biasanya di hasilkan oleh orang yang dapat menahan lapar dan ahli khalwat[16] jika tak ada sikap istiqamah maka penyingkapan itu akan seperti ahli sihir, orang-orang Nasrani dan orang-orang ahli bersenag-senang lainnya”. Penyingkapan bagi para Sufi sesungguhnya di anggap sebagai rintangan perjalanan yang terkadang nampak kepada sang murid (pengikut jalan ruhani) di tengah-tengah perjalanan spiritualnya. Akan tetapi sang murid janganlah menuju menfokuskan perhatian kepadanya, karena penyingkapan itu bukanlah tujuan dalam tariqat dan akhirat pun tidak ada pahalanya.
Berdasarkan terminologi tradisional kasyf dikelompokkan menjadi empat tingkatan yakni:[17]
- Al-Kasf Al-Kauni, adalah terbukanya rahasia atas unsur-unsur yang diciptakan. Tingkatan ini merupakan akibat perbuatan-perbuatan saleh dan kesucian roh yang lebih rendah. Pengalaman ini menjelma kedalam mimpi-mimpi dan kewaskitaan (kewaspadaan).
- Al-Kasf Al-Ilahi. adalah terbukanya rahasia ketuhanan, yang merupakan buah dari ibadah manusia yang terus menerus dan pembersihan hati sampai benar-benar bersih, suci dan cemerlang. Hal ini merupakan hasil dari perilaku perjalanan roh dalam zikir yang mendalam, sehingga ia dapat melihat rahasia hal-hal yang tersembunyi dan bahkan mampu memahami pikiran-pikiran yang tersembunyi.
- Al-Kasf Al-‘Aqli, adalah terbukanya rahasia oleh akal pikiran, yang merupakan pengetahuan intuitif (ilham) paling rendah. Hal ini akan dapat di capai dengan membersihkan perilaku yang tercela yang dialami “ahli batin” dan dapat juga oleh para filusuf (yang pada umunya ahli olah batin).
- Al-Kasyf Lal-Imani adalah terbukanya rahasia melalui kepercayaan. Tigkatan ini merupakan buah dari iman yang sempurna setelah manusia berusaha mendekati kesempurnaan-kesempurnaan kenabian.
Iman sebenarnya adalah terserapnya semua sifat manusia dalam mencari tuhan. Ini tentu diterima bulat oleh semua orang mukmin. Kuasa makrifat mendudukkan sifat-sifat agnostisime dan dimana iman ada, di situ agnositisme tersingkir.[18] Karena sebagaimana dikatakan: “sebuah lampu tidak bergunalagi ketika fajar menyingsing”. Allah berfirman: “raja-raja, bila mana mereka memasuki sebuah kota, menghancurkannya” (QS. 27: 34). Bila mana makrifat ada di hati ahli makrifat, kuasa kuasa keraguan dan kesangsian dan egnostisisme sepenuhnya hancur, dan kedaulatan makrifat menundukkan panca inderanya dan hawa nafsunya, sehingga dalam semua pandangan dan tindakannya serta kata-katanya ia tetap di dalam lingkaran wewenangnya. Aku pernah membaca bahwa ketika ibrahim khawwash di tanya mengenai hakikat iamn, ia menjawab: “aku tak punya jawaban terhadap pertanyaan ini sekarang, karena apa saja yang kukatakan hanyalah ungkapan semata, dan perlu bagiku jawabannya dengan tindakan-tondakanku. Tapi aku sedang menuju Makkah apakah kamu mau mnyertaiku sehingga pertanyaanmu bisa di jawab”. Si periwayat melanjutakan: “Aku setuju. Ketika kami berjalan menempuh padang pasir, setiap hari ada dua piring berisi makanan dan dua cangkir berisi air. Ia memberiku satu dan yang lainnya untuk dirinya sendiri. Suatu hari, kami bertemu dengan seorang tua, dan orang tua itu turun dari tunggangannya dan bicara dengan Ibrahim sejenak. Kemudian ia meninggalkan kami. Aku bertanya kepada ibrahim, “siapakah dia”. Ibrahim menjawab: ‘Inilah jawaban bagi pertanyaanmu.’kenapa demikian. Aku bertanya, ia berkata: ‘Itulah Khidhr, yang memintaku agar dia menyertaiku tapi aku menolaknya, karena aku takut jangan-jangan ketika bersamanya aku mempercayainya sebagai ganti mempercayai Tuhan, dan kemudian kepasrahanku keada tuhan (tawakkal) akan terampas. Ioman yang sebenarnya adalah pasarah kepada tuhan’.”.dan Muhammad bin Khafifi mengatakan: “Iman adalah kepercayaan kepada pengetahuan yang datang dri yang gaib,” karena iman adalah kepada yang tersembunyi, dan hanya bisa tercapai melalui dikautkannya oleh tuhan keyakinan kita yang merupakan hasil dari pengetahuan yang dianugrahkan oleh Allah.
Masing-masing tingkatan di atas mempunyai kekhususan tertentu. Lalu mengalami perkembangan pada masa selanjutnya.
Pengungkapan bebas (kasyifi-mujarrad) ada dua yaitu:[19]
b. Mukasyafah dalam keadaan sadar.
c. Khwab (tidur), atau Waqi’ah (mimpi). Dalam keadaan tersembunyi dari sesuatu yang dirasakan
Dalam mukasyafah, pemahaman ruh berhubungan dengan segala sesuatu yang ada di alam gaib maupun alam nyata. Dalam kasus pertama, yang mustahil tampak di alam nyata adalah surga, neraca, arasy (‘rsy) Allah, lembaran terjaga (al-lawh al-mhafuzh), dan pena ciptaan (al-qalam); yang mungkin tampak dalam bentuk netural adalah berbagai peristiwa yang mungkin terjadi, yang bentuknya di alam gaib belum termanifesatasikan; yang mungkin tampak di dalam bentuk eksidental adalah malaikat dan ruh yang lepas dari tubuh.
Kasyf berbeda dengan ilmu laduni (QS. 18:65). Ilmu laduni adalah ilmu yang didapatkan oleh hamba Allah SWT atas petunjuk lanysung dari-Nya. Sedangkan kasyf adalah tebukanya hijab yang membatasi rahasia realitas supranatural non rasional, yakni terbukanya hijab rahasia nurani dan rahasia Ilahi. Kasyf ini merupakan masalah cita rasa (zauq). karenanya, pengalaman ini merupakan persoalan yang tidak pernah di capai oleh pendekatan ilmiah atau oleh pemikiran teologi yang rasaional. Kasyf hanya bisa di capai dengan daya upaya rohani yang sungguh meletihkan dan komunikasi yang terus menerus dengan rahasia alam nurani dan alam ilahi. Penyingkapan (kasyf) ini tak lain hanyalah tipuan belaka; sebab, dalam wajd-nya, kaum Rahabin itu setiap hari semakin bertambah sombong dan jauh menyimpang dari jalan keselamatan. Jika kasyf ini jatuh di jalan orang-orang yang benar dan tulus, maka yang demikian itu adalah sebuah keajaiban; karena, inilah sebab yang memperkuat keyakinan dan meningkatkan amal ibadah.
III
RINGKASAN
Tarekat adalah jalan yang lurus yang ditempuh untuk mencapai ridla-Nya dengan pengamalan syari’at yang benar dan pengamalan hakikat yang benar pula, sehingga mampu melakukan ma’rifatullah dengan pengamalan dinul islam yang benar, sebagai bukti cinta (mahabbah) kepada Allah SWT dan mengikuti (mutaba’ah) sunnah rasulullah saw. Secara garis besar Tarekat dibagi menjadi tiga macam, yaitu:
1. Tarekat Syathariyah,2. Tarekat Naqsabandiyah, 3. Tarekat Qadiriyah
Pada dasarnya thariqat memiliki tiga tujuan yakni:
- Tujuan pertama adalah menjadi al-muthahharuun, suatu tingkat kesucian bayi.
- Tujuan kedua adalah bertemu diri, atau ma‘rifat.
- Tujuan ketiga adalah menjadi hamba-Nya yang didekatkan (qarrib).
Suluk berarti perjalanan ruhani seorang hamba dengan tujuan untuk mendekatkan diri, memohon ampunan, dan berkehenda mendapat ridho Allah SWT. Dengan melalui tahapan-tahapan penyucian jiwa (tazkaiatun – nafsi) yang dipraktekan ke dalam latihan-latihan ruhani (riadlatur-ruhaniah) secara istiqamah dan mudawamah.
ü Syarat-Syarat Suluk:
1). Berniat ikhlas, tidak riya dan sum’ah lahir dan batin.
2). Mohon ijin dan do’a dari syekh mursyidnya
3).Uzlah (mengasingkan diri), membiasakan jaga malam, lapar dan berzikir sebelum suluk.
Ø Macam-Macam Suluk
- Jalan ibadah: jalan yang ditempuh oleh seorang salik untuk memperbaiki syari’at
- Jalan riadhah: jalan yang ditempuh seorang salik untuk memperbaiki akhlaknya
- Thariqul khidmah WA bazlul jah: jalan yang ditempuh seorang salik untuk berlaku khidmat kepada masyarakat
Khalwat menurut bahasa ialah menyendiri, mengasingkan diri, dan memencilkan diri. Sedangkan menurut istilah ialah, menyendiri pada suatu tempat tertentu, jauh dari keramanian dan orang banyak, selama beberapa hari untuk lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT melalui shalat dan amaliah tertentu lainnya.
Tanda khalwat adalah dipertahankannya kondisi tersingkapnya hikmah itu. Penyingkapan hikmah bisa dijumpai dengan bukti tersingkapnya hijab dan berbagai manifestasi yang tak diragukan lagi.
Syarat- syarat khalwat ada tujuh yaitu:
1. Selalu dalam keadaan berwudlu
2. Selalu berpuasa, ia selalu berpuasa sunnah, agar segenap waktunya dipenuhi dengan keberkahan.
3. Sedikit makan, sewaktu sarapan, jumlah makanan tidak boleh lebih dari satu rithl (yakni Sama dengan satu pound atau 0,454 kilogram-peny).
4. Sedikit tidur, ia harus menahan kantuk selagi masih mampu dilakukannya. Tidur yang sesuai dengan kebutuhan di hitung sebagai ibadah bila diperlukan.
5. Sedikit bicara, ia harus menjaga indahnya setiap kali berbicara dengan orang lain.
6. Menafikkan berbagai pikiran. Dengan zikir dan dengan menyibukkan hati dalam menolak berbagai macam pemikiran.
7. Terus menerus beramal, secara lahiriyah maupun bathiniyah
Kasyaf menurut bahasa artinya terbuka atau tidak tertutup. Sedangkan menurut istilah, kasyf adalah kehidupan emosi keagamaan. Bisa juga kasyf diartikan dengan satu istilah bagi terefleksinya sebagian kondisi universe dan kerajaan Allah. Pada cermin kalbu setelah bersih dari kotoran-kotoran dosa dan kerusakan nafsu syahwat.
§ Kasyf dikelompokkan menjadi empat tingkatan yakni:
Al-Kasf Al-Kauni, adalah terbukanya rahasia atas unsur-unsur yang diciptakan.
Al-Kasf Al-Ilahi. adalah terbukanya rahasia ketuhanan, yang merupakan buah dari ibadah manusia yang terus menerus.
Al-Kasf Al-‘Aqli, adalah terbukanya rahasia oleh akal pikiran, yang merupakan pengetahuan intuitif (ilham) paling rendah.
Al-Kasyf Lal-Imani adalah terbukanya rahasia melalui kepercayaan.
DAFTAR PUSTAKA
Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam , 1994. Ensiklopedi Islam III, Jakarta,
PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve.
Luthfi, Miftakhul. 2004. Tashawuf Implentatif, Surabaya, Duta Ikhwana Salama Ma’had Tee Bee
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
Macam-Macam Suluk, www.risalahcahaya.blogspot.com
Macam-Macam Tarekat, http://Luqmanhakim.multiply.com/reviews
Hartawan, Rumadi. Fana dan Kasyaf
Sayyid Ali, Sayyid Nur bin.2003 Tasawuf Syar’i, Jakarta, Hikmah.
Umar Suhrowardi, Syihabuddin Syaikh.1998. Awarif Al-Ma’arif (terj). Bandung,
Pustaka Hidayah
Utsman Al-Hujwiri, Bin Ali. 1995. Kasyf Al Mahjub (Terj.) Bandung, Mizan.
[2] Ma’rifat : sifat orang yang mengenal Allah SWT dengan memalui asma-Nya, sifat-sifat-Nya, Ikhlas dalam perbuatan karena-Nya, Mentazkiahkan jiwanya dari segenap perangai tercela, mengislahkan hati dari seluruh akhlaq tercela, melakukan suluk kepada-Nya, istiqamah & mudawamah dalamketaatan kepada-Nya, dan CC terhadap neraca syari’at-Nya.
[3] Miftakhul Luthfi, Tashawuf Implentatif ( Surabaya : Duta Ikhwana Salama Ma’had Tee Bee, 2004)h.86
[4] Loc.Cit
[5] http://Luqmanhakim.multiply.com/reviews
[6] www.risalahcahaya.blogspot.com
[7] Tazkiatun-nafs adalah merupakan metode (thariqah) untuk mendekatkan diri kepada Allah (taqarrubun bil-lah).
[8] Riadlatun-nafs adalah upaya untuk melatih dan mengimunisasi jiwa dalam rangka memperoleh jiwa yang bersih (tazkiatun-nafs).
[9] Ibid.h., 24
[11]http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
[12] Dewan Redaksi Ensiklopedi Islam, Ensiklopedi Islam III(Jakarta : PT. Ikhtiar Baru Van Hoeve, 1994), Hal 36.
[13] Ibid.
[14] Syaikh Syihabuddin Umar Suhrowardi, Awarif Al-Ma’arif (terj). (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998). Hal 88.
[15] Ensiklopedi. Op. Cit. hal 22.
[16] Sayyid Nur bin Sayyid Ali, Tasawuf Syar’i, ((Jakarta: Hikmah, 2003) hal. 191.
[17] Ensiklopedi Op.cit. Hal 22
[18] Ali Bin Utsman Al-Hujwiri. Kasyf Al Mahjub (Terj.). (Bandung: Mizan. 1995). Hal 260.
[19] Syihabuddin, Op.Cit., Hal 97.
Apakah bisa belajar tasawuf tanpa syekh mursyid
BalasHapus