Senin, 11 Juli 2011

Mentradisikan Interaksi Dosen dengan Mahasiswa Dalam Bingkai Disiplin, Kejuangan Dan Kreatifitas

Mentradisikan Interaksi Dosen dengan Mahasiswa
Dalam Bingkai Disiplin, Kejuangan Dan Kreatifitas

Pendahuluan
            Perguruan tinggi adalah sebuah sistem yang terdiri dari berbagai macam elemen/unsur yang salah satu tonggak utamanya adalah terjadinya interaksi dosen dengan mahasiswa.
Interaksi tersebut menurut “pakem”nya dapat dilihat dari sisi formal dan sisi non formal. Sisi formalnya adalah terjadi pada saat dosen menjalankan fungsi  utamanya sebagai  pebelajar yang harus merencanakan, melaksanakan dan menilai keberhasilan mahasiswa dalam rangka mendapatkan pengetahuan, kemahiran dan ketrampilan. Implementasi aktivitas tersebut adalah terjadi pada saat dosen mengajar, membimbing skripsi, perwalian/bimbingan akademik dan sebagainya. Sedangkan pada sisi non formalnya tugas dosen adalah membantu mahasiswa untuk mendapatkan nilai-nilai moral dan nilai-nilai sosial di luar kegiatan formal tadi, seperti menanamkan kepribadian dan jati diri mahasiswa untuk mengimplementasikan ilmu yang didapat.
            Secara  teoritis adalah mudah melihat dan memaparkan interaksi dosen dengan mahasiswa namun hal tersebut menjadi sesuatu yang “naif” untuk diterima begitu saja. Sesungguhnya,  interaksi dosen dengan mahasiswa tidak se harmonis dan semudah yang dibayangkan.  Konflik terbuka dan terpendam selalu mewarnai interaksi dosen dengan mahasiswa. Contoh terkecil adalah ketidakpuasan mahasiswa terhadap dosen yang “tidak jelas” dalam mentransfer ilmu, kurangnya transparansi dalam pemberian nilai, penerapan disiplin yang berlebihan/kaku (dalam istilah populer “killer”) hingga penentangan secara sporadis dan ‘lantang” atas kebijakan yang diterapkan oleh institusi atas nama dosen yang menjabat struktural. Celakanya konflik tersebut kadang mandeg atau tidak terselesaikan karena masing-masing pihak berpihak pada keyakinan kebenaran masing-masing. Dosen kadang bersembunyi di balik segudang aturan dan etika. Sementara mahasiswa berpedoman pada kebebasan dan “hak” mereka atas pelayanan yang seharusnya diterima. Konflik yang tidak terselesaikan inilah yang kadang menimbulkan apatisme pada diri mahasiswa dan dosen dalam berinteraksi.  Bila dibiarkan maka kelanjutan dari fenomena tersebut tentunya akan mengganggu jalannya sistem pembelajaran dan pendidikan yang berdampak pada hasil pembelajaran dan tujuan pendidikan.
            Konflik-konflik di atas terjadi karena masih ada ( dan banyak ) dosen dalam melakukan interaksi dengan mahasiswa baik secara formal dan non formal menggunakan pendekatan  paedagogy ( anak-anak) dan bukannya andragogy (orang dewasa). Padahal seperti yang diketahui bahwa mahasiswa adalah orang dewasa yang memiliki  karakteristik yang berbeda dengan anak-anak Selain kurangnya pendekatan andragogy yang dilakukan dosen dalam berinteraksi dengan mahasiswa, faktor lain yang menyebabkan konflik antara dosen dengan mahasiswa adalah terabaikannya pertimbangan moral dan etika  oleh masing-masing pihak baik dosen dan mahasiswa. Dosen kadang melaksanakan tugas dan fungsinya sesuai dengan keinginan sendiri (ego) atau keinginan institusinya yang diterjemahkan secara kaku, sementara mahasiswa cenderung berlaku sesuai dengan ideologi (kebebasan) yang dianutnya serta memandang prinsip kesetaraan yang kadang mengabaikan etiket.
            Dua faktor tersebut diatas merupakan sumber utama dari disharmonisasi interaksi dosen dengan mahasiwa yang sering menjadi “lingkaran setan” dalam kehidupan di perguruan tinggi. Oleh karena itu, dalam uraian di bawah ini akan disampaikan beberapa penawaran interaksi dosen dengan mahasiswa yang ideal melalui  pendekatan disiplin, kejuangan dan kreativitas.



PEMBAHASAN
Pemahaman andragogy sebagai dasar interaksi
            Dosen adalah subjek dalam sistem maupun proses pendidikan di perguruan tinggi (walau didampingi staf administrasi), karena tugas utamanya adalah melakukan perencanaan, pelaksanaan dan melakukan penilaian akan keberhasilan mahasiswa sebagai objek dalam proses pembelajaran. Oleh karenanya, dosen perlu mengetahui karakteristik dari objek (mahasiswa) yang dijadikan sasaran tugas utamanya tersebut. Pegangan utama dalam proses pembelajaran termasuk didalamnya interaksi dengan mahasiswa tentunya adalah pemahaman akan pendekatan pendidikan andragogy. Melalui pemahaman andragogy tersebut dosen akan mampu menghadapi mahasiswa secara alamiah dalam interaksi serta mengoptimalkan hasil pembelajaran yang dilakukan. Beberapa hal penting yang harus diperhatikan  dosen dalam melakukan interaksi secara formal dan non formal dengan mahasiswa adalah sebagai berikut :
Faktor Kebebasan
            Kebebasan, adalah merupakan salah satu ciri pada orang dewasa. Dalam melakukan aktivitasnya (termasuk belajar), mahasiswa cenderung menentukan apa yang ingin dilakukan serta selalu membandingkan keadaan yang baru diterimanya dengan fenomena yang telah menjadi referensi mereka. Oleh karenanya dalam melakukan interaksi  dengan mahasiswa diperlukan pandangan yang bersifat demokratis dialogis. Interaksi yang dilakukan memberikan kebebasan pada mahasiswa untuk menyampaikan opini dan pandangan mereka secara terbuka. Indoktrinasi dan komunikasi yang bersifat satu arah akan dianggap sebagai sesuatu yang mengekang mereka. Dengan demikian, melakukan tukar pendapat, diskusi, serta tanya jawab adalah suatu bentuk pendekatan  yang pas bagi mereka.

Faktor Tanggung Jawab
Faktor tanggung jawab, adalah yang membedakan sifat antara orang dewasa dengan sifat anak-anak. Orang dewasa bertanggung jawab terhadap apa yang dilakukannya. Dengan sifat tanggung jawabnya itu, mahasiswa dalam kehidupan interaksinya di kampus menganggap dirinya sejajar dengan dosen, karena mereka menganggap bahwa antara dirinya dengan dosen sama-sama merupakan orang dewasa, yang membedakan hanyalah bahwa dosen telah memiliki pengetahuan / keterampilan tertentu yang belum dimiliki oleh dirinya. Karena kesejajarannya itu, mahasiswa cenderung ingin diperlakukan sebagai seseorang yang bertanggung jawab dan dapat dipercaya, mereka lebih senang dianggap sebagai sahabat yang mengerti terhadap atas apa yang mereka lakukan. Dosen dalam konteks ini perlu menempatkan diri sebagai sosok tempat bertanya (shoulder to cry on) dikala mereka mengalami masalah dan kesulitan.

Faktor Pengambilan Keputusan sendiri
Mahasiswa sebagai orang dewasa mampu mengambil keputusan sendiri. mereka tidak mau digurui, dipaksa untuk menerima kebenaran-kebenaran dari luar, karena mereka menganggap dapat memutuskan tentang apa yang akan mereka lakukan, tentang apa yang akan mereka ambil manfaatnya dari perilaku tersebut serta mereka menganggap dirinya mampu menilai baik buruknya sesuatu yang akan dan sedang mereka lakukan… Mengapa demikian?…Karena mereka menganggapbahwa hanya dirinyalah yang lebih mengetahui hal-hal yang berguna dan bermanfaat  bagi dirinya dalam kehidupannya sehari-hari. Dalam hal ini, seorang dosen harus melengkapi (bukan mengganti) kemampuan dirinya sebagai seseorang yang berperan sebagai “fasilitator”. Hal tersebut dapat dilakukan dengan cara lebih mengutamakan pada pemberian informasi yang relevan dan netral, membantu para mahasiswa dalam mengambil keputusan dan menyeleksi informasi yang diterima, terutama dalam hal-hal baru.

Faktor Pengarahan Diri sendiri
            Mahasiswa sebagai orang dewasa, mereka menganggap dirinya dapat mengarahkan diri sendiri, mereka juga memiliki pandangan hidup sendiri (way of life) dalam berinisiatif dan dalam berkreasi yang disesuaikan dengan pandangan yang dimilikinya, serta mereka memiliki tingkat interaktivitas yang tinggi antar sesama mahasiswa lain. Namun hal tersebut bukan berarti mereka harus dilepas begitu saja, peran dosen dalam hal ini harus dapat mengakomodasi tingkat interaktivitas antar sesama pembelajar serta memberikan pengarahan diri dalam kelompok dimaksud.   

Faktor Psikologis
            Tidak jarang, faktor psikologis para mahasiswa kurang diperhatikan. Hal tersebut dimungkinkan karena ada anggapan bahwa seorang dosen, tetaplah seorang dosen yang bertugas menyampaikan ilmu, bukan psikolog ataupun psikiater yang harus bersusah payah untuk mengurusi masalah kejiwaan para mahasiswa. Tentunya, bukan itu yang dimaksud. Yang harus diperhatikan oleh seorang dosen adalah  mereka harus dapat meyakinkan mahasiswa bahwa mereka diterima dan diperlakukan sebagai orang dewasa yang memiliki kebebasan untuk berekspresi dan berkreasi dan dihargai sebagai seorang sahabat. Selain itu, empati dosen sangat diperlukan, karena walau bagaimanapun, mahasiswa mengharapkan pemahaman dosen tentang apa yang diinginkan, dibutuhkan, diharapkan serta yang dirasakan oleh mereka. Asas humanistik sangat penting dalam hal ini.
Disiplin dalam interaksi dosen dan mahasiswa
            Bila disiplin dijadikan dasar dan disiplin perlu ditegakkan dalam interaksi dosen dengan mahasiswa, kiranya perlu terdapat persepsi dan pemahaman yang sama tentang disiplin. Dalam banyak definisi, pengertian disiplin, antara lain : pada ekstrem yang satu, berarti memaksa orang lain untuk patuh.
Bagi banyak orang, disiplin ini menimbulkan arti yang biasa dipahami orang menimbulkan gambaran yang amat keras dan bayangan tentang hukuman. Pada sisi lain,"disiplin" mengacu pada usaha membantu orang lain melalui pengajaran dan pelatihan. Contohnya, kata " a disciple" dalam bahasa Inggris berarti seseorang yang mengikuti ajaran orang lain.
            Dalam konteks mana disiplin akan ditegakkan ? Pemahaman selama ini sebenarnya tidak kurang dari dua pengertian tersebut, yaitu disiplin identik dengan kepatuhan atau mungkin juga memandangnya sebagai pengajaran. Di sisi lain, walaupun disiplin sebagai pengajaran merupakan gagasan yang bagus, kenyataannya kadang-kadang hal ini diterjemahkan secara sepihak oleh dosen untuk "menggunakan cambuknya" dalam interaksinya dengan mahasiswa. Pada konteks formal ( proses belajar mengajar, pembimbingan dsb) disiplin sebagai kepatuhan dan pengajaran memang harus ditegakkan karena tanpa ada disiplin maka tidak akan ada proses pembelajaran yang baik. Namun sayang objek penderita yang dikenai disiplin tadi lebih banyak pada mahasiswa. Sanksi yang diberlakukanpun juga lebih banyak untuk mahasiswa. Sehingga disiplin disini akan dikonotasikan oleh pihak mahasiswa sebagai “pemaksaan” atas nama sistem. Kalaupun kepatuhan akan disiplin tadi dijalankan oleh mahasiswa maka yang terjadi bukan kesadaran akan tetapi “keterpaksaan”. Akibatnya dosen yang bersangkutan akan dijauhi dan dianggap sebagai “momok” oleh mahasiswa dalam kehidupan interaksinya di kampus.
            Pada sisi lain kadang dosen menerapkan disiplin tanpa memperlihatkan keteladanan pada mahasiswa. Seperti misalnya  dosen sulit ditemui untuk bimbingan skripsi, sulit ditemui untuk bimbingan KRS, sering kosong dalam mengajar serta ketidaktepatan dalam memberikan penilaian (termasuk kecepatan mengeluarkan nilai ujian akhir). Selain itu perilaku yang “jaim” ( jaga image ) juga menyebabkan mahasiswa merasa tidak nyaman dalam melakukan interaksi.   Kondisi seperti ini menjadikan dosen dinilai buruk perfomance dan kepribadiannya oleh mahasiswa. Oleh karenanya maka tidak heran apabila dosen yang berstatus seperti itu  menjadi dipinggirkan dalam pergaulan interaksi dengan mahasiswa.
Hal di atas nampaknya masih belum banyak diperhatikan sehingga ada asumsi bahwa dosen tidak pernah salah. Padahal perlu diingat kunci dalam sistem pendidikan tinggi adalah dosen. Baik buruknya perfomance dan kepribadian dosen juga mengarah pada baik dan buruknya keberhasilan proses pendidkan di perguruan tinggi. Oleh karenanya, perlu ada evaluasi yang harus dilakukan untuk dosen yang tidak hanya sebatas pada cara mengajar tetapi juga dalam konteks memberikan pelayanan kepada mahasiswa.
            Di sisi mahasiswa, disiplin diterjemahkan sebagai sesuatu yang mengekang sesuatu yang membatasi kreativitas dan menurut mereka layak dan asyik untuk dilanggar. Tuntutan egaliter / kesetaraan dalam interaksi dengan dosen kadang melampui batas. Beberapa etiket pergaulan di kampus kadang tidak dihiraukan sebagai pedoman berperilaku termasuk berinteraksi dengan dosen. Contoh kecil misalnya pergi ke kampus memakai sandal (walau sepatu sandal) sebenarnya adalah sesuatu yang kurang pantas untuk dilakukan mahasiswa  baik untuk kuliah atau sekedar menghadap/bimbingan dengan dosen.
Etiket pergaulan lain di kampus yang sering disoroti adalah cara berpakaian, dan ini masih terus diperdebatkan baik dosen dan mahasiswa. Adalah sah dan harus bila cara berpakaian diatur dalam aturan tertulis namun memberi aturan yang sangat rigid juga bukan tindakan yang bijaksana.  Sebagai contoh adalah tidak mungkin melarang mahasiswi memakai pakaian ketat, jika larangan ini diberlakukan maka si mahasiswi tersebut  akan kesulitan mencari model pakaian yang tidak ketat karena trend model pakaian sekarang untuk usia mereka cenderung ketat. Jadi jalan keluar yang bijak adalah larangan yang diberlakukan  terhadap pakaian yang memperlihatkan sebagian anggota tubuh yang harus ditutupi bukan ketatnya pakaian tersebut. 
            Dengan demikian, bahasan disiplin dalam interaksi dosen dengan mahasiswa sesungguhnya perlu ada penajaman dalam keseimbangan penerapannya. Dosen dan mahasiswa adalah unsur dalam perguruan tinggi yang harus mematuhi aturan, etiket dan norma yang ditetapkan dalam kehidupan kampus. Tuntutan kedisplinan beserta konsekuensinnya bukan  diberikan pada mahasiswa saja sebagai pembelajar tetapi juga dosen sebagai subjek  atau  pebelajar.  Sehingga melalui cara ini akan lahir suatu budaya (tradisi) saling menilai antara dosen dan mahasiswa. Masing-masing akan menjadi pihak yang saling men-support terhadap jalannya aturan formal dan non formal yang berlaku di kampus. Selain itu, melalui cara ini interaksi yang akan terjadi antara dosen dan mahasiswa  adalah munculnya sikap saling menghormati (respect) sebagai wujud dari idealisme kesetaraan civitas academica.

Kejuangan dalam interaksi dosen dan mahasiswa
Mungkin ada benarnya apabila ada yang berpendapat bahwa nilai-nilai kejuangan telah luntur dalam benak masyarakat. Tidak saja dilupakan tetapi sudah dianggap hanya menjadi bagian dari sejarah saja. Bahkan ada yang lebih ekstrim lagi memposisikan kejuangan sebagai sesuatu yang tidak sedang musim lagi. Tidak ditayangkan di TV, tidak dikumandangkan di radio, tidak juga ada situsnya di internet. Sehingga akibatnya kini logika kapitalisme dan hedonisme yang kian membahana.
Dalam kehidupan kampus, kelunturan nilai-nilai kejuangan tadi dapat dilihat dari orientasi dosen yang mengamalkan ilmu hanya untuk sekedar mencari nafkah dan mempertahankan eksistensi. Sementara pada diri mahasiswa menuntut ilmu hanya digunakan sebagai kedok untuk memperoleh status dan bukannya mendedikasikannya untuk cita-cita yang luhur. Akibatnya maka tidaklah heran apabila kemudian muncul istilah “industrialisasi perguruan tinggi”. Pendidikan tinggi dijadikan komoditi yang berorientasi pada pasar dan mengabaikan nilai-nilai idealisme pendidikan. Bila kondisi ini dibiarkan maka perguruan tinggi akan semakin menjadi menara gading tinggi yang jauh dari kedekatan masyarakat sekelilingnya.

Kreativitas dalam interkasi dosen dengan mahasiswa
Prof. John Arnold pakar filsafat perancangan berpendapat bahwa  semua orang memiliki potensi kreatif yang cukup tinggi. Orang-orang kreatif mengembangkan potensinya secara alami sesuai dengan karakternya. Semua orang dapat mengembangkan kreativitasnya secara sistematik dan berkelanjutan. Kreativitas bukan milik seseorang, melainkan milik banyak orang. Karena itu kreativitas harus dikembangkan supaya manusia dapat berpikir, berbuat, berhasil dan memberikan yang lebih baik, lebih banyak, lebih bermanfaat dan lebih menguntungkan. Kreativitas diperlukan supaya selalu ada yang lebih baik, supaya semua kemampuan yang ada bermanfaat dan tidak mubazir, supaya pandai dan terampil menyelesaikan masalah, mendapatkan temuan baru, invensi, dan inovasi. Karena itu kreativitas perlu diperkenalkan dalam kuliah dan dalam kegiatan ekstrakrikuler.
Jika kreativitas dikaitkan dengan interaksi dosen dengan mahasiswa maka nampaknya yang kelihatan adalah lagi-lagi  pada saat interaksi formal, yaitu ketika dosen menyampaikan mata kuliah yang bersifat praktik dalam bentuk penugasan ( kuliah fotografi, pemograman, role playing  dan sebagainya).  Di luar itu nampaknya unsur kreatifitas belum banyak mewarnai kehidupan kampus. Ini  bisa terjadi karena sifat interaksi tersebut juga tidak kreatif. Sebagian besar waktu dosen dalam berinteraksi dengan mahasiswa adalah dalam suasana formal. Padahal salah satu strategi pengembangan kreativitas adalah melalui permainan dan humor. Artinya pengembangan kreativitas tidak berada pada “penjara” formal tetapi justru dalam suasana yang lebih santai dan egaliter. Masih sedikit dosen yang mau melakukan diskusi secara non formal atau di luar kelas dengan mahasiswa, misalnya diskusi di jam istirahat kuliah atau di kantin kampus, atau bila perlu dosen mendatangi mahasiswa yang sedang ngobrol di lobi kampus untuk di ajak berdiskusi sebagai sarana memberikan wacana kreativitas kepada mereka.
Selain itu, masih jarang  dosen yang mau menggunakan dan memanfaatkan sarana teknologi komunikasi untuk melakukan interaksi dengan mahasiswa seperti e-mail, mailing list atau jaringan komunitas maya atau situs web. Penggunaan teknologi komunikasi tersebut tentunya sedikit banyak akan menstimuli  mahasiswa untuk semakin kreatif, karena menggeluti teknologi juga termasuk salah satu unsur pengembangan kreativitas. Dari sini dosen sebenarnya menstimuli mahasiswa untuk mau menggeluti teknologi dan cara ini lebih baik daripada sekedar memberikan retorika kreatif.   
Untuk lebih membangkitkan semangat kreatif, dosen dan mahasiswa perlu membentuk adanya komunitas-komunitas kreatif. Melalui komunitas ini (yang terbentuk secara non formal) posisi dosen akan menjadi mentor yang selain berfungsi sebagai pembimbing/pengarah dia sendiri akan mampu melejitkan potensi kreatifnya. Pertanyaan, keluhan dari mahasiswa yang dimentorinnya akan menjadi pengalaman sendiri untuk menemukan ide kreatif baru. Sementara bagi mahasiswa komunitas ini selain digunakan sebagai sarana berlatih sekaligus untuk membangkitkan percaya diri mereka bahwa mereka mampu untuk berbuat kreatif, serta mampu “urun rembug” memecahkan masalah.
Yang perlu diwaspadai berkaitan dengan kreativitas, kadang sengaja atau tidak sering kebijakan yang kurang konstruktif ( yang dikeluarkan) memandulkan kreativitas dari mahasiswa. Yang ini gak boleh, yang itu gak boleh atau boleh dengan syarat…… tentunya akan membuat mahasiswa menjadi  apatis terhadap aktivitas yang berbau kreatif. Regulasi kegiatan mahasiswa adalah penting, namun regulasi tersebut jangan sampai memasung kreativitas itu sendiri. Ini yang sulit…!  Pada konteks inilah dosen sebagai fasilitator dan tempat curhat, memberikan tantangan bukan tekanan kepada mahasiswa. Artinya setiap kreativitas yang datang dari mahasiswa perlu diappresiasi. Dosen perlu memoles kreativitas tersebut dengan tantangan yang lebih baik bukannya melarang tanpa memberikan alasan yang jelas apalagi tidak memberi solusi alternatif dari usulan kreativitas tadi.
Tradisi, tradisi dan tradisi
Pilar utama dalam kehidupan perguruan tinggi seperti diketahui adalah aturan tertulis ( Statuta, Skep dsb) dan tradisi. Aturan tertulis lebih bersifat normatif dan cenderung kaku, sementara tradisi adalah aturan yang tidak tertulis tetapi cenderung dipatuhi karena menjadi budaya, bersifat luwes dan tidak kaku. Pada tema interaksi dosen dan mahasiswa pada semua bentuk, bingkai serta tujuannya bila diatur dalam aturan tertulis adalah tidak salah, namun adalah lebih baik bila memilih menjadikannya sebagai tradisi ( Kalau boleh bertanya : apa saja tradisi kita ya ? ). Pilihan ini menjadikan suasana akademik dan non akademik  menjadi alami dan lebih lugas. Pola kemitraan dan kerjasama menjadi luwes untuk dilakukan oleh dosen dan mahasiswa. Namun pilihan ini akan terwujud melalui proses yang sangat panjang. Diperlukan semangat keaktifan dosen (plus peagawai administrasi) serta partisipasi kuat mahasiswa untuk membangun itu. Nah pertanyaannya bersedia dan mampukah kita ?





















DAFTAR PUSTAKA

Ancok, Djamaludin, 2000, Dampak Teknologi Internet Pada kehidupan Manusia dan Pengelolaan Institusi Pendidikan, makalah pada peringatan Lustrum ke tujuh Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, 15 januari 2000

Bakri, M. Amin, 2004, Potensi E-learning, Dikti, Jakarta

De Fleur, Melvin L, Patricia Kearney etc, 1992, Fundamental of Human Communicatons, Mayfield Publishing Company, CA, USA

Joyce B, dan Weil, 1986, Models of Teaching, Prentice Hall, New Jersey
Pannen Paulina, 2001, Pembelajaran Orang Dewasa, PAUPPAI, Dikti, Jakarta
Winataputra, Udin S, 2001, Model-model Pembelajaran Inovatif, Dikti, Jakarta

www.pustekom.ac.id/jurnal teknodik.html                           
www.kudos-idd.com/learning_solutions/definition
www.pc.jaring.my                 
www.ibii.ac.id/free-jurnal.php

Tidak ada komentar:

Posting Komentar